Bayu Fernando, Dari Hobi Jamur hingga Wisata Edukasi dan Menjadi Ladang Cuan

Pagi itu, embun masih menempel di atap-atap rumah kawasan Tenayan Raya, Pekanbaru. Dari sebuah lahan di samping rumah sederhana, aroma lembap menyeruak. Bukan bau tanah biasa, tapi campuran serbuk kayu, dedak, dan udara sejuk yang menandakan satu hal: jamur-jamur tiram tengah tumbuh subur di dalam “Rumah Jamur Nando.”

Bayu Fernando yang lebih akrab disapa Nando tampak sibuk memeriksa rak-rak berisi baglog jamur. Dari sela plastik bening, jamur putih itu tumbuh berlapis seperti bunga mekar. Ia memegang satu rumpun, meneliti kelembabannya, lalu tersenyum kecil. “Kalau jamurnya segar, rasanya lebih manis,” ujarnya pelan.

Siapa sangka, dari sekadar hobi saat kuliah, tempat kecil di samping rumah ini kini menjelma menjadi wisata edukasi yang ramai dikunjungi anak sekolah, keluarga, bahkan pejabat daerah. Di sini, pengunjung bisa belajar tentang cara menanam jamur, memetiknya sendiri, hingga mencicipi olahan kreatif seperti bakso, nugget, hingga es krim jamur.

Dari Salah Jurusan hingga Menemukan “Emas” di Balik Laboratorium

Perjalanan Nando tak dimulai dengan keyakinan bulat. Saat duduk di bangku SMA, cita-citanya sederhana: menjadi dokter. Namun nasib berkata lain. Ia tak lolos seleksi kedokteran dan justru diterima di jurusan Pendidikan Biologi Universitas Riau. Awalnya kecewa, bahkan merasa salah jurusan. Tapi seiring waktu, justru dari ruang laboratorium dan praktik biologi itulah benih ketertarikan terhadap dunia jamur tumbuh.

“Kalau dipikir sekarang, ternyata Tuhan kasih jalan lewat jurusan yang dulu saya anggap salah,” katanya sambil tertawa. Dari pengetahuan dasar tentang fungi di kelas, ia mulai bereksperimen kecil di rumah. Di sela kuliah, ia mencoba menumbuhkan jamur tiram menggunakan media seadanya, seperti serbuk kayu, dedak, dan sedikit perangsang. Beberapa kali gagal. Tapi kegagalan itu tak membuatnya berhenti.

Sampai suatu ketika, ia berhasil memanen jamur pertamanya. Hasilnya tak banyak, tapi cukup membuatnya yakin. “Rasanya seperti nemu tambang emas,” kenangnya.

Lahan Kosong yang Disulap Jadi Rumah Jamur

Di sebelah rumahnya, ada sebidang lahan kecil yang selama ini dibiarkan kosong. Rumput liar tumbuh tinggi, dan kadang jadi tempat parkir motor tetangga. Suatu sore, Nando berdiri di situ, menatapnya lama. “Kenapa nggak dijadikan rumah jamur saja?” pikirnya.

Dari situlah semuanya bermula. Ia bangun bangunan sederhana dengan atap seng, menata rak kayu bertingkat, dan mengatur suhu agar lembap tapi tidak pengap. Setiap pagi, ia memeriksa kelembaban udara, memastikan sinar matahari tidak terlalu banyak masuk. Suhu ideal sekitar 24 derajat Celsius—pelajaran yang dulu hanya ia dengar di kelas kini menjadi praktik nyata.

Usahanya berkembang pesat. Dari beberapa baglog jamur, kini ratusan memenuhi rak. Setiap hari ia bisa memanen hingga 30 kilogram jamur segar. Permintaan datang bertubi-tubi dari Pekanbaru dan sekitarnya. Kadang stok tak cukup untuk memenuhi semua pesanan.

Dari Budidaya ke Wisata Edukasi

bayu fernando
Sumber gambar: Bertuahpos.com

Semakin banyak orang tertarik datang, bukan hanya untuk membeli jamur, tapi juga untuk belajar. Anak-anak sekolah datang berkelompok, mengenakan seragam rapi, mata mereka membulat saat melihat jamur tumbuh di balik plastik.

Nando menjelaskan dengan sabar tentang bagaimana jamur hidup tanpa klorofil, bagaimana serbuk kayu bisa menjadi tempat tumbuhnya, hingga cara memanen yang benar.

“Jamur ini sensitif, kalau terlalu panas bisa mati,” katanya pada sekelompok siswa SD. Suaranya lembut, seperti guru yang sedang bercerita di kelas.

Lambat laun, Rumah Jamur Nando berkembang menjadi wisata edukasi. Di halamannya, Nando membangun gazebo untuk tempat istirahat, taman kecil, dan area bermain anak. Suasana rindang membuat siapa pun betah berlama-lama.

Setelah belajar, pengunjung bisa mencicipi hasil olahan jamur yang dibuat di dapur kecil di samping rumah: jamur crispy, bakso jamur, hingga es krim unik yang lembut dan gurih.

“Awalnya cuma mau nanam jamur,” kata Nando tersenyum, “tapi ternyata orang juga pengin tahu cara menanamnya.”

Usaha yang Ramah Lingkungan

Tak hanya menguntungkan, usaha jamur ini juga ramah lingkungan. Limbah dari media tanam yang sudah tak dipakai, oleh Nando dikeringkan dan dijadikan pupuk kompos. Tak ada yang terbuang. “Semua bisa bermanfaat, tinggal mau dikelola atau tidak,” ujarnya.

Keberhasilannya membuat banyak orang datang untuk belajar. Ia tak pelit berbagi ilmu. Banyak anak muda Riau yang datang menimba pengalaman, ingin memulai bisnis jamur sendiri. Nando selalu memberi semangat, “Kalau belum coba, kita nggak pernah tahu bisa atau tidak. Tapi kalau nggak coba sama sekali, itu pasti gagal seratus persen.”

Gagal, Bangkit, dan Menginspirasi

Perjalanan bisnis jamur Nando tak selalu mulus. Pernah jamur-jamurnya rusak karena suhu terlalu panas, pernah pula terserang jamur liar yang membuat hasil panen gagal. Namun setiap kegagalan ia anggap guru. “Kalau gagal sekali, ya ulang lagi. Kalau gagal lagi, ulang terus. Sampai berhasil.”

Kini, Rumah Jamur Nando di Jalan Singkong, Gang Singkong, Kelurahan Kuala Sialang Sakti, bukan hanya tempat budidaya jamur, tapi juga tempat belajar kehidupan. Di sana, kerja keras, kesabaran, dan ketekunan tumbuh berdampingan dengan jamur-jamur tiram putih yang tiap hari bermunculan dari rak kayu.

Atas inovasi dan dedikasinya, Bayu Fernando mendapat penghargaan Satu Indonesia Awards dari PT Astra untuk bidang kewirausahaan. Penghargaan itu bukan sekadar simbol prestasi, tapi bukti bahwa mimpi sederhana bisa berbuah besar jika dijalani dengan tekun.

Di bawah atap rumah jamur yang lembap itu, Nando menatap rak-rak yang penuh panen. “Saya cuma ingin buktiin,” katanya pelan, “bahwa dari hobi, kita bisa menghidupi banyak orang.”

Dan dari ruang kecil di Tenayan Raya, Pekanbaru, Bayu Fernando telah membuktikannya bahwa kerja keras yang konsisten, sekecil apa pun, bisa menumbuhkan kehidupan.

Tinggalkan komentar